Jumat, 18 Desember 2009

KODE ETIK GURU RI

PEMBUKAAN
Dengan rahmat Tuhan yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa
jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan
diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang bermain, bertakwa dan berakhlak mulia serta
mengusai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, dan beradab.
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki
kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Guru Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik yang
dalam melaksanakan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung
tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam usaha
mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru Indonesia ketika menjalankan tugastugas
profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Guru Indonesia bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk
mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang
kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak
mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh
sejajar dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa
yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan
profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan
negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan tugas pelaksanaan tugas guru secara
profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna,
terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini.
Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan
guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas, kompetetif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi
persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia menyadari
sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman
bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan
etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.
Bagian Satu
Pengertian, tujuan, dan Fungsi
Pasal 1
(1) Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan
diterima oleh guru-guru Indonesia . Sebagai pedoman sikap dan perilaku
dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota maasyarakat
dan warga negara.
(2) Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal
ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan
buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugastugas
profesionalnya untuk mendidik, mengajar,membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan
sehari-hari di dalam dan luar sekolah.
Pasal 2
(1) Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan
menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang
dilindungi undang-undang.
(2) Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma
moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam
hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan
seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama,
pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.
Bagian Dua
Sumpah/Janji Guru Indonesia
Pasal 3
(1) Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud
pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilainilai
moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai
pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat.
(2) Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi
profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.
(3) Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara
satuan pendidikan.
Pasal 4
(1) Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia .
(2) Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara
perorangan atau kelompok sebelumnya melaksanakan tugas.
Bagian Tiga
Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional
Pasal 5
Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari :
(1) Nilai-nilai agama dan Pancasila
(2) Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional.
(3) Nilai-nilai jati diri, harkat dan martabat manusia yang meliputi perkembangan
kesehatan jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual,
Pasal 6
(1) Hubungan Guru dengan Peserta Didik:
a. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tuga didik,
mengajar, membimbing, mengarahkan,melatih,menilai, dan mengevaluasi
proses dan hasil pembelajaran.
b. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah,
dan anggota masyarakat
c. Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara
individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
d. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya
untuk kepentingan proses kependidikan.
e. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus
berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah
yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien
bagi peserta didik.
f. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih
sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar
batas kaidah pendidikan.
g. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang
dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
h. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk
membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan
kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
i. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali
merendahkan martabat peserta didiknya.
j. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara
adil.
k. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi
kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
l. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh
perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
m. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta
didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar,
menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
n. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi serta didiknya untuk alasanalasan
yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum,
kesehatan, dan kemanusiaan.
o. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionallnya
kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial,
kebudayaan, moral, dan agama.
p. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional
dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
pribadi.
(2) Hubungan Guru dengan Orangtua/wali Siswa :
a. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien
dengan Orangtua/Wali siswa dalam melaksannakan proses pedidikan.
b. Guru mrmberikan informasi kepada Orangtua/wali secara jujur dan
objektif mengenai perkembangan peserta didik.
c. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang
bukan orangtua/walinya.
d. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpatisipasi
dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
e. Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai
kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada
umumnya.
f. Guru menjunjunng tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasin
dengannya berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak
atau anak-anak akan pendidikan.
g. Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan
orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungna-keuntungan pribadi.
(2) Hubungan Guru dengan Masyarakat :
a. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif dan
efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan
pendidikan.
b. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembnagkan dan
meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
c. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
d. Guru berkerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan
prestise dan martabat profesinya.
e. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan
masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan
kesejahteraan peserta didiknya
f. Guru memberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai
agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan
masyarakat.
g. Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya
kepada masyarakat.
h. Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupam
masyarakat.
(3) Hubungan Guru dengan sekolah
a. Guru memelihara dan eningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
b. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam
melaksanakan proses pendidikan.
c. Guru menciptakan melaksanakan proses yang kondusif.
d. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di dalam dan luar sekolah.
e. Guru menghormati rekan sejawat.
f. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat
g. Guru menjunung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan
kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.
h. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk
tumbuh secara profsional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan
tuntutan profesionalitasnya.
i. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan
pendapat-pendapat profesionalberkaitan dengan tugas-tugas pendidikan
dan pembelajaran
j. Guru membasiskan diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan
dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.
k. Guru memliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat
meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugastugas
profesional pendidikan dan pembelajaran.
l. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari
kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
m. Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyaan keliru berkaitan
dengan kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
n. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang
akan merendahkan martabat pribadi dan profesional sejawatnya
o. Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya
atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarnya.
p. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk
pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
q. Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau
tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.
(4) Hubungan Guru dengan Profesi :
a. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi
b. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan
dan bidang studi yang diajarkan
c. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya
d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam
menjalankan tugas-tugas profesionalnya dan bertanggungjawab atas
konsekuensiinya.
e. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif
individual, dan integritas dalam tindkan-tindakan profesional lainnya.
f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang
akan merendahkan martabat profesionalnya.
g. Guru tidak boleh menerima janji, pemberian dan pujian yang dapat
mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan proesionalnya
h. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari
tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di
bidang pendidikan dan pembelajaran.
(5) Hubungan guru dengan Organisasi Profesinya :
a. Guru menjadi anggota aorganisasi profesi guru dan berperan serta secara
aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan
kependidikan.
b. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang
memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan
c. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat
informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan
masyarakat.
d. Guru menjunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam
menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas
konsekuensinya.
e. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk
tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan
profesional lainnya.
f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang
dapat merendahkan martabat dan eksistensis organisasi profesinya.
g. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk
memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
h. Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi
profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(6) Hubungan Guru dengan Pemerintah :
a) Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program
pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD
1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang
Guru dan Dosen, dan ketentuan Perundang-Undang lainnya.
b) Guru membantu Program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan
berbudaya.
c) Guru berusaha menciptakan, memeliharadan meningkatkan rasa persatuan
dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
pancasila dan UUD1945.
d) Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh
pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan
pembelajaran.
e) Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang
berakibat pada kerugian negara.
Bagian Empat
Pelaksanaan, Pelanggaran, dan sanksi
Pasal 7
(1) Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kude
Etik Guru Indonesia .
(2) Guru dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru
Indonesia kepada rekan sejawat Penyelenggara pendidikan, masyarakat dan
pemerintah.
Pasal 8
(1) Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakan Kode
Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan
dengan protes guru.
(2) Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
(3) Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan sedang dan berat.
Pasal 9
(1) Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran
terhadap Kode Etik Guru Indonesia merupakan wewenang Dewan
Kehormatan Guru Indonesia .
(2) Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus objektif
(3) Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan
kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan
martabat profesi guru.
(5) Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia ,
organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
(6) Setiap pelanggaran dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa
bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum sesuai dengan jenis
pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia .
Bagian Lima
Ketentuan Tambahan
Pasal 10
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di
Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundangundangan.
Bagian Enam
Penutup
Pasal 11
(1) Setiap guru secara sungguh-sungguh menghayati,mengamalkan serta
menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia .
(2) Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih
organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru yang
telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia .

Pengembangan Perangkat Penilaian Sikap

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tuntutan penerapan
kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu kemampuan berpikir,
keterampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap peserta didik memiliki
potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya satu sama lain berbeda.
Ada peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku amat
baik, namun keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang
memiliki kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi
dan perilaku amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan
keterampilannya sedang/biasa, tapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta
didik yang kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku
kurang baik. Peserta didik seperti itu akan mengalami kesulitan bersosialisasi
dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat. Ini
menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat.
Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan
menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi. Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan
gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara,
membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif
berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab,
kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang
lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi
bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan
pembelajaran yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya
masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran
afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan
pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan
pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan
pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi
afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan
perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.


B. Tujuan



Buku pengembangan perangkat penilaian afektif ini disusun agar pendidik:

1. memiliki kesamaan pemahaman mengenai ranah afektif dan cara penilaiannya
2. mampu mengembangkan perangkat penilaian afektif






C. Ruang Lingkup



Buku ini berisi tentang hakikat penilaian afektif dan pengembangan perangkat
penilaian afektif.



BAB II

PENILAIAN RANAH AFEKTIF




A. Hakikat Pembelajaran Afektif



Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar,
dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik
manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal
berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah
psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga
ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam
bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar
seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk
mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam
suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua
peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan
emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat
persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua
dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan
ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh
kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap
positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran
tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun
para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan
pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena
itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program
pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus
memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.




B. Tingkatan Ranah Afektif


Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai
komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada
komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah
afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending),
responding, valuing, organization, dan characterization.
1. Tingkat receiving


Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan
memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas,
kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian
peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif.
Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku,


senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan,
dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
2. Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan
pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan
dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat,
yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada
aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang
membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3. Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan
derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima
suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada
tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari
seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan
dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam
tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
4. Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar
nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi
sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
5. Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini
peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada
waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat
ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.





C. Karakteristik Ranah Afektif



Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai
ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan
emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain
yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas
menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat
dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang
kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah
perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada
pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas
dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada
dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide


sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang
ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi
terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini
bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh
seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa
target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran,
tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu.
Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek,
situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya
sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini
penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap
mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta
didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti
pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan
pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus
membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik
yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih
positif.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau
pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583),
minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu.
Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk
karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam
pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,


f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan
memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan
pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep
diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya
orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif
atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum,
yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu
dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih
alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri
penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan
tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari
penilaian diri adalah sebagai berikut.

.
Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
.
Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
.
Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
.
Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
.
Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
.
Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui
standar input peserta didik.
.
Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
.
Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
.
Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
.
Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
.
Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
.
Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
.
Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat
untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
.
Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
.
Peserta didik mampu menilai dirinya.
.
Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
.
Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.





4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan,
tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah
keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada
keyakinan.



Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu
seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif.
Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung
pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah
suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam
mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa
manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan
pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai
yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh
kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak.
Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan
tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui
penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan
pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan
orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.
Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain
baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama
seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi
moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:

.
Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam
berinteraksi dengan orang lain.
.
Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya
moral dan artistik.
.
Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat
perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
.
Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis
memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada
semua orang.








BAB III
PENGEMBANGAN PERANGKAT PENILAIAN AFEKTIF
A. Pengukuran Ranah Afektif
Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan
harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah. Masalah yang
timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi dan validitas konstruk
ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langsung mengikuti
definisi konseptual.
Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur
ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri. Penggunaan
metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat
dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi psikologi. Metode
laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah
dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik
afektif diri sendiri.
Menurut Lewin (dalam Andersen, 1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari
watak (kognitif, afektif, dan psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat
perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang
ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi lingkungan.
B. Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif
Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri,
nilai, dan moral. Ada 11 (sebelas) langkah dalam mengembangkan instrumen
penilaian afektif, yaitu:


1. menentukan spesifikasi instrumen
2. menulis instrumen
3. menentukan skala instrumen
4. menentukan pedoman penskoran
5. menelaah instrumen
6. merakit instrumen
7. melakukan ujicoba
8. menganalisis hasil ujicoba
9. memperbaiki instrumen
10. melaksanakan pengukuran
11. menafsirkan hasil pengukuran



1. Spesifikasi instrumen
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif,
yaitu instrumen (1) sikap, (2) minat, (3) konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral.



a. Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran,
pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa
negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi
pembelajaran yang tepat.
b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat
peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk
meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
c. Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif
terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta
didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi
kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan
program yang sebaiknya ditempuh.
d. Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta
didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif
dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang
bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
e. Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral
seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang
ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil
pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral
seseorang.
Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu
(1) tujuan pengukuran, (2) kisi-kisi instrumen, (3) bentuk dan format
instrumen, dan (4) panjang instrumen.
Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah
menyusun kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi (blue-print), merupakan matrik yang
berisi spesifikasi instrumen yang akan ditulis. Langkah pertama dalam
menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi konseptual yang berasal dari
teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan definisi
operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang dapat
diukur. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi sejumlah
indikator. Indikator merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap
indikator bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen.



2. Penulisan instrumen
Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Afektif


No

Indikator

Jumlah
butir

Pertanyaan/Pernyataan

Skala

1









2









3









4









5












Penilaian ranah afektif peserta didik dilakukan dengan menggunakan
instrumen penilaian afektif sebagai berikut.
a. Instrumen sikap
Definisi konseptual: Sikap merupakan kecenderungan merespon secara
konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap
bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek,
misalnya kegiatan sekolah. Sikap bisa positif bisa negatif. Definisi
operasional: sikap adalah perasaan positif atau negatif terhadap suatu
objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah
untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui kuesioner.
Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan yang
positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata
yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan
seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk,
diingini-tidak diingini.
Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran matematika misalnya.

. Membaca buku matematika
. Mempelajari matematika
. Melakukan interaksi dengan guru matematika
. Mengerjakan tugas matematika
. Melakukan diskusi tentang matematika
. Memiliki buku matematika







Contoh pernyataan untuk kuesioner:

. Saya senang membaca buku matematika
. Tidak semua orang harus belajar matematika
. Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran matematika
. Saya tidak senang pada tugas pelajaran matematika
. Saya berusaha mengerjakan soal-soal matematika sebaik-baiknya
. Memiliki buku matematika penting untuk semua peserta didik







b. Instrumen minat


Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat
peserta didik terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan
untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran


tersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang tersusun melalui
pengalaman yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep,
dan keterampilan untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan.
Definisi operasional: Minat adalah keingintahuan seseorang tentang
keadaan suatu objek.
Contoh indikator minat terhadap pelajaran matematika:

. Memiliki catatan pelajaran matematika.
. Berusaha memahami matematika
. Memiliki buku matematika
. Mengikuti pelajaran matematika







Contoh pernyataan untuk kuesioner:

.
Catatan pelajaran matematika saya lengkap
.
Catatan pelajaran matematika saya terdapat coretan-coretan tentang
hal-hal yang penting
.
Saya selalu menyiapkan pertanyaan sebelum mengikuti pelajaran
matematika
.
Saya berusaha memahami mata pelajaran matematika
.
Saya senang mengerjakan soal matematika.
.
Saya berusaha selalu hadir pada pelajaran matematika









c. Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik
digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh
peserta didik.
Definisi konsep: konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya
sendiri yang menyangkut keunggulan dan kelemahannya. Definisi
operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri
yang menyangkut mata pelajaran.
Contoh indikator konsep diri:

. Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami
. Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran
. Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit
. Mengukur kekuatan dan kelemahan fisik







Contoh pernyataan untuk instrumen:

. Saya sulit mengikuti pelajaran matematika
. Saya mudah memahami bahasa Inggris
. Saya mudah menghapal suatu konsep.
. Saya mampu membuat karangan yang baik
. Saya merasa sulit mengikuti pelajaran fisika
. Saya bisa bermain sepak bola dengan baik
. Saya mampu membuat karya seni yang baik
. Saya perlu waktu yang lama untuk memahami pelajaran fisika.










d. Instrumen nilai
Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta
didik. Kegiatan yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh
nilai (value) peserta didik terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, ada
peserta didik yang menyukai pelajaran keterampilan dan ada yang tidak,
ada yang menyukai pelajaran seni tari dan ada yang tidak. Semua ini
dipengaruhi oleh nilai peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian
baik dan buruk.
Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat
atau keinginan berbuat. Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan
aktivitas atau tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu
merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya.
Definisi konseptual: Nilai adalah keyakinan terhadap suatu pendapat,
kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah keyakinan seseorang
tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Misalnya keyakinan akan
kemampuan peserta didik dan kinerja guru. Kemungkinan ada yang
berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang
berkeyakinan bahwa guru sulit melakukan perubahan.
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu.
Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang
negatif. Hal-hal yang positif ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi
dan akhirnya dihilangkan.
Contoh indikator nilai adalah:

. Memiliki keyakinan akan peran sekolah
. Menyakini keberhasilan peserta didik
. Menunjukkan keyakinan atas kemampuan guru.
. Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat







Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta didik:

.
Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar peserta didik sulit untuk
ditingkatkan.
.
Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal.
.
Saya berkeyakinan bahwa peserta didik yang ikut bimbingan tes
cenderung akan diterima di perguruan tinggi.
.
Saya berkeyakinan sekolah tidak akan mampu mengubah tingkat
kesejahteraan masyarakat.
.
Saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah.
.
Saya berkeyakinan bahwa hasil yang dicapai peserta didik adalah atas
usahanya.









Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep
diri, dan nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik
afektif peserta didik dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan
pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik,
perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik
harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang
berkaitan dengan indikator tersebut.


e. Instrumen Moral
Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta didik. Contoh
indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah:

. Memegang janji
. Memiliki kepedulian terhadap orang lain
. Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas
. Memiliki Kejujuran







Contoh pernyataan untuk instrumen moral

.
Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati.
.
Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha menepatinya.
.
Bila berjanji pada anak kecil, saya tidak harus menepatinya.
.
Bila menghadapi kesulitan, saya selalu meminta bantuan orang lain.
.
Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya berusaha
membantu.
.
Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri.
.
Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak melihat
saya.
.
Bila bertemu guru, saya selalu memberikan salam, walau ia tidak
melihat saya.
.
Saya selalu bercerita hal yang menyenangkan teman, walau tidak
seluruhnya benar.
.
Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu mempercayainya.









3. Skala Instrumen Penilaian Afektif
Skala yang sering digunakan dalam instrumen penelilaian afektif adalah Skala
Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.
Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah




7

6

5

4

3

2

1

1. Saya senang belajar Sejarah















2. Pelajaran sejarah bermanfaat















3. Saya berusaha hadir tiap ada jam
pelajaran sejarah















4. Saya berusaha memiliki buku pelajaran
Sejarah















5. Pelajaran sejarah membosankan















Dst


















Contoh skala Likert: Sikap terhadap pelajaran matematika


1

Pelajaran matematika bermanfaat

SS

S

TS

STS

2

Pelajaran matematika sulit

SS

S

TS

STS

3

Tidak semua harus belajar matematika

SS

S

TS

STS

4

Pelajaran matematika harus dibuat mudah

SS

S

TS

STS

5

Sekolah saya menyenangkan

SS

S

TS

STS






Keterangan:
SS : Sangat setuju
S : Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju
Contoh skala beda Semantik:
Pelajaran ekonomi




a

b

c

d

e

f

g



Menyenangkan















Membosankan

Sulit















Mudah

Bermanfaat















Sia-sia

Menantang















Menjemukan

Banyak















Sedikit




4. Sistem penskoran
Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila
digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir 7 dan skor
terendah 1. Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda semantik,
tertinggi 7 terendah 1. Untuk skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap
butir 5 dan terendah 1. Dalam pengukuran sering terjadi kecenderungan
responden memilih jawaban pada katergori tiga 3 (tiga) untuk skala Likert.
Untuk menghindari hal tersebut skala Likert dimodifikasi dengan hanya
menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas sikap atau minat responden.
Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat peserta didik dan tingkat kelas,
yaitu dengan mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya
ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing peserta didik dan
minat kelas terhadap suatu mata pelajaran.
5. Telaah instrumen
Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) butir pertanyaan/
pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan komunikatif dan
menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir peranyaaan/pernyataan tidak
bias, d) format instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau
mengisi instrumen jelas, dan f) jumlah butir dan/atau panjang kalimat
pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk
dibaca/dijawab.
Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila
ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang
diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang
digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil
telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.


Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat
kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak
lebih dari 30 menit. Langkah pertama dalam menulis suatu pertanyaan/
pernyataan adalah informasi apa yang ingin diperoleh, struktur pertanyaan,


dan pemilihan kata-kata. Pertanyaan yang diajukan jangan sampai bias, yaitu
mengarahkan jawaban responden pada arah tertentu, positif atau negatif.
Contoh pertanyaan yang bias:
Sebagian besar pendidik setuju semua peserta didik yang menempuh ujian
akhir lulus. Apakah saudara setuju bila semua peserta didik yang mengikuti
ujian lulus semua?
Contoh pertanyaan yang tidak bias:
Sebagian pendidik setuju bahwa tidak semua peserta didik harus lulus, namun
sebagian lain tidak setuju. Apakah saudara setuju bila semua peserta didik
yang menempuh ujian akhir lulus semua?
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan kata-kata untuk
suatu kuesioner, yaitu:

a. Gunakan kata-kata yang sederhana sesuai dengan tingkat pendidikan
responden
b. Pertanyaannya jangan samar-samar
c. Hindari pertanyaan yang bias.
d. Hindari pertanyaan hipotetikal atau pengandaian.





Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki instrumen. Perbaikan
dilakukan terhadap konstruksi instrumen, yaitu kalimat yang digunakan, waktu
yang diperlukan untuk mengisi instrumen, cara pengisian atau cara menjawab
instrumen, dan pengetikan.
6. Merakit instrumen
Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan
format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format
instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden
tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya
dipisahkan dengan cara memberi spasi yang lebih, atau diberi batasan garis
empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat
kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.
7. Ujicoba instrumen
Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan
tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua
peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi
yang ingin dinilai. Bila yang ingin dinilai adalah peserta didik SMA, maka
sampelnya juga peserta didik SMA. Sampel yang diperlukan minimal 30 peserta
didik, bisa berasal dari satu sekolah atau lebih.
Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas
kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan,
dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang digunakan
disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah. Selain itu sebaiknya
responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa pengisian
instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada batasan
waktu namun tidak terlalu ketat.



Agar responden mengisi instrumen dengan akurat sesuai harapan, maka
sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu yang
diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman,
waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.
8. Analisis hasil ujicoba
Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/
pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban
responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada
instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada
satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen
ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda.
Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30, butir instrumen tergolong
baik.
Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan
indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih
kecil dari 0,70, kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu
diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.
9. Perbaikan instrumen
Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak
baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik,
namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan
instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran
dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan
terbuka.
10. Pelaksanaan pengukuran
Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang
digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah.
Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang
cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden
tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling
bertanya pada responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama atau
homogen. Pengisian instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan
pengisian, manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen.
11. Penafsiran hasil pengukuran
Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran
diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan
jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala
Likert yang berisi 10 butir pertanyaan/ pernyataan dengan 4 (empat) pilihan
untuk mengukur sikap peserta didik. Skor untuk butir pertanyaan/pernyataan
yang sifatnya positif:
Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(4) (3) (2) (1)



Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat negatif
Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(1) (2) (3) (4)
Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor
terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi empat
kategori sikap atau minat, yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik),
rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini
dapat ditentukan minat atau sikap peserta didik. Selanjutnya dapat dicari
sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu.
Penentuan kategori hasil pengukuran sikap atau minat dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2. Kategorisasi sikap atau minat peserta didik untuk 10 butir
pernyataan, dengan rentang skor 10 – 40.


No.

Skor peserta didik

Kategori Sikap atau Minat

1.

Lebih besar dari 35

Sangat tinggi/Sangat baik

2.

28 sampai 35

Tinggi/Baik

3.

20 sampai 27

Rendah/Kurang

4.

Kurang dari 20

Sangat rendah/Sangat kurang




Keterangan Tabel 2:

1. Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40
= 36, dan batas atasnya 40.
2. Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah: 0,70 x 40 = 28,
dan skor batas atasnya adalah 35.
3. Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20,
dan skor batas atasnya adalah 27.
4. Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah
kurang dari 20.









Tabel 3 Kategorisasi sikap atau minat kelas


No.

Skor rata-rata kelas

Kategori Sikap atau Minat

1.

Lebih besar dari 35

Sangat tinggi/Sangat baik

2.

28 sampai 35

Tinggi/Baik

3.

20 sampai 27

Rendah/Kurang

4.

Kurang dari 20

Sangat rendah/Sangat kurang




Keterangan:

1. Rata-rata skor kelas: jumlah skor semua peserta didik dibagi jumlah
peserta didik di kelas ybs.






2. Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40
= 36, dan batas atasnya 40.









3. Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik adalah: 0,70 x 40 = 28,
dan skor batas atasnya adalah 35.
4. Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20,
dan skor batas atasnya adalah 27.
5. Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah
kurang dari 20.









Pada Tabel 2 dapat diketahui minat atau sikap tiap peserta didik terhadap
tiap mata pelajaran. Bila sikap peserta didik tergolong rendah, maka peserta
didik harus berusaha meningkatkan sikap dan minatnya dengan bimbingan
pendidik. Sedang bila sikap atau minat peserta didik tergolong tinggi, peserta
didik harus berusaha mempertahankannya.
Tabel 3 menujukkan minat atau sikap kelas terhadap suatu mata pelajaran.
Dalam pengukuran sikap atau minat kelas diperlukan informasi tentang minat
atau sikap setiap peserta didik terhadap suatu objek, seperti mata pelajaran.
Hasil pengukuran minat kelas untuk semua mata pelajaran berguna untuk
membuat profil minat kelas. Jadi satuan pendidikan akan memiliki peta minat
kelas dan selanjutnya dikaitkan dengan profil prestasi belajar. Umumnya
peserta didik yang berminat pada mata pelajaran tertentu prestasi belajarnya
untuk mata pelajaran tersebut baik.


C. Observasi


Penilaian ranah afektif peserta didik selain menggunakan kuesioner juga bisa
dilakukan melalui observasi atau pengamatan. Prosedurnya sama, yaitu dimulai
dengan penentuan definisi konseptual dan definisi operasional. Definisi konseptual
kemudian diturunkan menjadi sejumlah indikator. Indikator ini menjadi isi
pedoman observasi. Misalnya indikator peserta didik berminat pada mata
pelajaran matematika adalah kehadiran di kelas, kerajinan dalam mengerjakan
tugas-tugas, banyaknya bertanya, kerapihan dan kelengkapan catatan. Hasil
observasi akan melengkapi informasi dari hasil kuesioner. Dengan demikian
informasi yang diperoleh akan lebih akurat, sehingga kebijakan yang ditempuh
akan lebih tepat.



BAB IV

PENUTUP


Cukup banyak ranah afektif yang penting untuk dinilai. Namun yang perlu
diperhatikan adalah kemampuan pendidik untuk melakukan penilaian. Untuk itu pada
tahap awal dicari komponen afektif yang bisa dinilai oleh pendidik dan pada tahun
berikutnya bisa ditambah ranah afektif lain untuk dinilai.
Ranah afektif yang penting dikembangkan adalah sikap dan minat peserta didik. Hal
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen afektif sebagai berikut.

1. Menentukan definisi konseptual atau konstruk yang akan diukur.
2. Menentukan definisi operasional
3. Menentukan indikator
4. Menulis instrumen.



Instrumen yang dibuat harus ditelaah oleh teman sejawat untuk mengetahui
keterbacaan, substansi yang ditanyakan, dan bahasa yang digunakan. Hasil telaah
digunakan untuk memperbaiki instrumen. Selanjutnya instrumen tersebut di ujicoba
di lapangan. Hasil ujicoba akan menghasilkan informasi yang berupa variasi jawaban,
indeks beda, dan indeks keandalan instrumen. Hasil ujicoba digunakan untuk
memperbaiki instrumen. Hal yang penting pada instrumen afektif adalah besarnya
indeks keandalan instrumen yang dikatakan baik adalah minimal 0,70.
Penafsiran hasil pengukuran menggunakan dua kategori yaitu positif atau negatif.
Positif berarti minat peserta didik tinggi atau sikap peserta didik terhadap suatu
objek baik, sedang negatif berarti minat peserta didik rendah atau sikap peserta
didik terhadap objek kurang. Demikian juga untuk instrumen yang direncanakan untuk
mengukur ranah afektif yang lain.



DAFTAR PUSTAKA
Allen, Mary. Yen., & Yen, Wendy. M. (1979). Introduction measurement theory.
Berkeley, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools.
Boston: Allyn and Bacon.
Gable, Robert. K. (1986). Instrument development in the affective domain. Boston:
Kluwer-Nijhoff Publishing.
Mueller, D. J. (1986). Measuring social attitudes. New York: Teachers College,
Columbia University.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar
Pengelolaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Robinson, John. P., & Shaver, Philip. R. (1980). Measures of social psychological
attitudes. Michigan: The Institute of Social Research.
Sax, Gilbert. (1980). Principles of educational and psychological measurement and
evaluation. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Straughan, R. (1989). Belief, behaviour, and education. London: Biddles Ltd.
Guilfordand King’s Lynn.
Thorndike, Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (1977). Measurement and evaluation
in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.
Traub, Ross. E. (1994). Reliability for the social sciences. London: Sage Publications.